TAK sulit memperoleh tempat makam malam yang nikmat di Kyoto. Rumah makan bertebaran hampir di seluruh sudut kota.
Di hotel-hotel berbintang, restoran pun menyuguhkan makanan khas Jepang yang begitu mengesankan. Namun bagi saya, makan malam di tepi sungai Kamo (Kamogawa) ialah yang terbaik.
Di hotel-hotel berbintang, restoran pun menyuguhkan makanan khas Jepang yang begitu mengesankan. Namun bagi saya, makan malam di tepi sungai Kamo (Kamogawa) ialah yang terbaik.
Bersama rombongan Sharp Indonesia, malam itu, Kamis (10/6) kami datang ke Restoran Ganko di jantung kota Kyoto. Sebagaimana layaknya rata-rata bangunan lain di kota seluas 827,90 km2 ini, Ganko juga berdesain minimalis.
Bukan sekadar sajian masakan atau panorama tepi Kamogawa yang membuat langkah kaki menuju daerah makan yang selalu ramai. Alasan besarnya adalah maiko. Ya, restoran ini memang menyuguhkan pertunjukan tari tradisional Jepang.
Maiko yakni istilah untuk penari belia (berusia sekitar 15–20 tahun). Ketika dewasa dia disebut geiko. Inilah segi mempesona lain dari Kyoto. Hanya di tempat ini mereka menyebut penari tradisional itu sebagai geiko.
Di wilayah lain di Jepang, penari ini disebut geisha. Lagu ”kunang-kunang” dari suatu tape recorder lawas mengiringi gerakan maiko. Wajahnya yang berlamur bedak nyaris tanpa verbal. Tatapan matanya tajam. Pelan ia mengikuti iringan harmoni itu. Sesekali duduk, bangkit, memutar badan, kadang menyapukan helai kimononya.
Alunan musik yang terasa cempreng itu akhirnya berhenti, tepat ketika maiko duduk. Tepuk tangan dari hadirin kedai makanan menggema. Barulah ketika itu sang maiko memperlihatkan lisan aslinya.
Senyum bagus tersungging dari bibirnya yang bergincu tebal. Ketika pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari hadirin restoran, beliau menjawab dengan ramah. Fukuzusu, maiko yang seorang lulusan Sekolah Menengah Pertama, balasannya mengawalkami makan malam itu.
Mengapa memilih menjadi maiko (geisha kecil)? Bukankah stigma negatif selalu melekat untuk pekerjaan itu? Fukuzusu tersenyum kecil.
”Masih banyak orang menganggap geisha berkonotasi negatif. Sebenarnya tidak mirip itu,” ucap dia.
Bocah asal Prefektur Yamaguchi ini menjelaskan, maiko ataupun geiko ialah pelestari kebudayaan Jepang. Cap geisha selaku istri simpanan para pejabat, kata beliau, terjadi pada abad kemudian.
Fukuzusu mengaku sengaja mengambil risiko tidak meneruskan bersekolah dan menjadi maiko. Mengapa?
”Awalnya saya pernah melihat pertunjukan maiko. Saya lantas kesengsem dan hasilnya benar-benar menjadi maiko,” ucapnya.
Fukuzusu mengaku menjadi penari penghibur di rumah makan bukan pekerjaan nista. ”Ini ialah warisan kebudayaan nenek moyang,” ucapnya.
Fukuzusu tidak berlebihan. Di Kyoto sendiri, ketika ini cuma terdapat 100 orang geiko (geisha).
Dari jumlah itu, hanya 10 orang yang benar-benar orisinil Kyoto. Tak mudah menjadi maiko. Fukuzusu memerlukan waktu hampir satu tahun di asrama sebelum diperbolehkan tampil di depan banyak orang. Selama setahun di asrama khusus, ia dan juga bocah-bocah lain diajari kehidupan tentang maiko.
”Kami mesti mampu menari, menyanyi, juga mengenal kebudayaan dan tradisi,” ungkapnya.
Segala problem hidup di asrama ini ditanggung sepenuhnya oleh pengurus. Kelak dikala dewasa dan menjadi geiko, mereka harus keluar dari asrama dan menanggung hidupnya sendiri.
Menurut Ayako Shimizu, salah satu pegawai kedai makanan menerangkan, maiko atau geiko yang memutuskan menikah, selsai pula kiprahnya sebagai penari.
”Dia menjadi perempuan biasa,” katanya.
Fukuzusu tersenyum. Obrolan mengalir terasa begitu singkat. Sashimi lengkap dengan wasabi yang menciptakan lidah bergoyang, tempura, bento, dan ocha di meja makan sudah tandas. Malam makin larut. Seteguk sake menuntaskan makan malam di tepi sungai Kamo yang indah itu
Bukan sekadar sajian masakan atau panorama tepi Kamogawa yang membuat langkah kaki menuju daerah makan yang selalu ramai. Alasan besarnya adalah maiko. Ya, restoran ini memang menyuguhkan pertunjukan tari tradisional Jepang.
Maiko yakni istilah untuk penari belia (berusia sekitar 15–20 tahun). Ketika dewasa dia disebut geiko. Inilah segi mempesona lain dari Kyoto. Hanya di tempat ini mereka menyebut penari tradisional itu sebagai geiko.
Di wilayah lain di Jepang, penari ini disebut geisha. Lagu ”kunang-kunang” dari suatu tape recorder lawas mengiringi gerakan maiko. Wajahnya yang berlamur bedak nyaris tanpa verbal. Tatapan matanya tajam. Pelan ia mengikuti iringan harmoni itu. Sesekali duduk, bangkit, memutar badan, kadang menyapukan helai kimononya.
Alunan musik yang terasa cempreng itu akhirnya berhenti, tepat ketika maiko duduk. Tepuk tangan dari hadirin kedai makanan menggema. Barulah ketika itu sang maiko memperlihatkan lisan aslinya.
Senyum bagus tersungging dari bibirnya yang bergincu tebal. Ketika pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari hadirin restoran, beliau menjawab dengan ramah. Fukuzusu, maiko yang seorang lulusan Sekolah Menengah Pertama, balasannya mengawalkami makan malam itu.
Mengapa memilih menjadi maiko (geisha kecil)? Bukankah stigma negatif selalu melekat untuk pekerjaan itu? Fukuzusu tersenyum kecil.
”Masih banyak orang menganggap geisha berkonotasi negatif. Sebenarnya tidak mirip itu,” ucap dia.
Bocah asal Prefektur Yamaguchi ini menjelaskan, maiko ataupun geiko ialah pelestari kebudayaan Jepang. Cap geisha selaku istri simpanan para pejabat, kata beliau, terjadi pada abad kemudian.
Fukuzusu mengaku sengaja mengambil risiko tidak meneruskan bersekolah dan menjadi maiko. Mengapa?
”Awalnya saya pernah melihat pertunjukan maiko. Saya lantas kesengsem dan hasilnya benar-benar menjadi maiko,” ucapnya.
Fukuzusu mengaku menjadi penari penghibur di rumah makan bukan pekerjaan nista. ”Ini ialah warisan kebudayaan nenek moyang,” ucapnya.
Fukuzusu tidak berlebihan. Di Kyoto sendiri, ketika ini cuma terdapat 100 orang geiko (geisha).
Dari jumlah itu, hanya 10 orang yang benar-benar orisinil Kyoto. Tak mudah menjadi maiko. Fukuzusu memerlukan waktu hampir satu tahun di asrama sebelum diperbolehkan tampil di depan banyak orang. Selama setahun di asrama khusus, ia dan juga bocah-bocah lain diajari kehidupan tentang maiko.
”Kami mesti mampu menari, menyanyi, juga mengenal kebudayaan dan tradisi,” ungkapnya.
Segala problem hidup di asrama ini ditanggung sepenuhnya oleh pengurus. Kelak dikala dewasa dan menjadi geiko, mereka harus keluar dari asrama dan menanggung hidupnya sendiri.
Menurut Ayako Shimizu, salah satu pegawai kedai makanan menerangkan, maiko atau geiko yang memutuskan menikah, selsai pula kiprahnya sebagai penari.
”Dia menjadi perempuan biasa,” katanya.
Fukuzusu tersenyum. Obrolan mengalir terasa begitu singkat. Sashimi lengkap dengan wasabi yang menciptakan lidah bergoyang, tempura, bento, dan ocha di meja makan sudah tandas. Malam makin larut. Seteguk sake menuntaskan makan malam di tepi sungai Kamo yang indah itu
sumber: kompas.com
Posting Komentar